Toleransi Tak Berarti harus melebur
A. Keimanan dan Toleransi dalam kehidupan beragama
.
SUATU hari ada iring-iringan jenazah orang Yahudi yang melintas di depan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dan para Sahabat. Beliau, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam pun berhenti dan berdiri. Para Sahabat terkejut, kemudian bertanya: “Kenapakah engkau berhenti Ya Rasulullah?, sedangkan itu adalah iring-iringan jenazah orang Yahudi”. Nabi pun menjawab :”Bukankah dia juga manusia?” (HR. Bukhari).
Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tegas mengatakan, siapa saja orang Yahudi dan Nasrani yang tidak mengakui kenabiannya, adalah kafir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: “Tidak seorangpun di kalangan umat ini yang mendengar tentangku dari kalangan Yahudi maupun Nasrani kemudian ia meninggal dan tidak beriman dengan risalah yang aku bawa kecuali ia tergolong penghuni neraka” (HR. Muslim).
Inilah sesungguhnya bertoleransi, kita menghormati tanpa harus mengikuti atau membaur, lebih-lebih mengakui keimanan non-Muslim. Iman tidak dicampur-adukan atau disamaratakan menjadi bertoleransi. Kita lihat saja dua hadist di atas, Imannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam dan para Sahabat sempurna, tapi toh juga mereka bisa bertoleransi. Manakala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tiba-tiba berdiri, tentu saja para Sahabat terkejut. Namun, para Sahabat akhirnya paham ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tidak mengikuti ritual pemakaman orang Yahudi tersebut. Beliau cuma berdiri, tidak sampai ikut menghantarkan ke liang lahat dengan berbagai ritualnya.
Jadi, toleransi Islam dalam antar umat beragama itu hanya menyentuh ranah sosial. Coba kita perhatikan, beliau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam berkata alasannya menghormati; “Bukankah dia manusia”.
Sehingga, toleransi yang melampaui wilayah sosial ini tidak tepat. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam tidak mengatakan; “Bukankah dia Yahudi”. Sebab toleransi bukan dengan membenarkan ke-yahudian-nya. Dan membenarkan keyakinan agama lain bukanlah disebut toleransi, tapi pluralisasi. Sedangkan istilah pluralisme tidak ada dalam kamus Islam.
Setiap Muslim yang beriman, haruslah komit atau tetap berpegang teguh terhadap keyakinannya. Para ulama mendefinisikan bahwa iman harus memenuhi tiga pilar;
1) pembenaran dalam hati (al-tashdiq bi al-qalb),
2) pernyataan dengan lidah (al-iqrar bi al-lisan)
3) dan perbuatan anggota tubuh (al-‘amal bi al-arkan).
Orang yang telah percaya (tashdiq) dianggap benar kepercayaannya jika kepercayaan itu diikuti dengan qabul (penerimaan), muwalah (kesetiaan), dan idh’an (ketundukan). Karena itu, seseorang yang mengaku beriman tetapi tidak setia dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bahwa Yahudi dan Nasrani kafir, maka pengakuannya otomatis batal. Berarti mereka tidak tunduk dan setia dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam
Terkait dengan ini, Pendiri NU, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari pernah berfatwa, barangsiapa mengakui ketuhanan Allah akan tetapi ia juga meyakini Dia memiliki anak dan sekutu, maka ia sesungguhnya telah keluar dari agama, berdasarkan kesepakatan ulama’ (Hasyim Asyari,Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 13). Artinya, pengakuannya batal karena tidak setia kepada Allah.
Selain ‘toleransi’ yang melampaui batas, toleransi juga kadang dimaknai dengan kebebasan ala liberal. Kaum liberal, menjustifikasi ‘toleransi’ versinya dengan menyodorkan al-Qur’an surat al-Baqarah: 256 yang berbunyi: “Laa Ikraha fi al-Dien” (tidak ada paksaan dalam beragama). Atas dasar ayat ini, maka tidak ada hukum memvonis non-Islam. Bahwa, dalam versi liberal, Islam memberikan kebebasan yang mutlak untuk beragama, atau pun tidak beragama. Bebas untuk beragama Islam, atau beragama non-Islam.
Namun demikian untuk memahami ayat, tidak seharusnya kita memakai metode “mutilasi ayat” (memotong-motong ayat tanpa dikaitkan dengan ayat berikutnya). “Mutilasi ayat” sama saja akan ‘membunuh’ kesucian ayat itu sendiri. Dan ayat di atas semestinya harus dibaca secara utuh, yang lengkapnya ayat tersebut, adalah;
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدمِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki ) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan maksud ayat tersebut. Bahwasannya seseorang dilarang untuk dipaksa masuk agama Islam. Sebab kebenaran Islam itu sangat jelas, terang dan bukti-buktinya gamblang. Menurut Ibn Katsir, sebagaimana cukup jelas dalam ayat di atas bahwa percaya kepada Islam merupakan kebenaran. Sedangkan ingkar terhadap Islam adalah kesesatan. Orang yang masuk Islam adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk Allah, sedangkan orang non-Islam adalah orang-orang yang buta hatinya (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim). Jadi, ayat di atas bukanlah justifikasi kebebasan tanpa batas. Sama sekali ayat itu bukan menjelaskan konsep kebebasan. Justru inti ayat di atas ada di kalimat akhir, yaitu, perbedaan orang yang mendapatkan petunjuk dan orang yang tertutup kesesatan (kafir).
Manakala Islam menegaskan kebenaran risalah Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam itu tidak diartikan bahwa umat Islam harus memusuhi dan membunuhi umat agama lain. Sejarah mencatat, bahwa Islam agama yang cukup toleran dan hormat kepada agama lain.
B. Merayakan Tahun Baru itu ‘Tasyabbuh’ (Meniru-niru) Orang Kafir
Begitupun adanya perayaan menyambut datangnya tahun baru Masehi, kita mengakui dan menghormati adanya perhitungan waktu penentuan awal & akhir tahun Masehi dan kita bertoleran untuk itu. Dan umat Islam sesungguhnya telah memiliki adanya perhitungan kalender waktu sendiri dalam penentuan awal & akhir tahun yaitu Hijriyah. Jadi tidak sepatutnyalah kita ikut menyambut atau merayakan datangnya tahun baru Masehi, karena itu termasuk meniru-niru (tasyabbuh) orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam tata cara berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”
An Nawawi -rahimahullah- ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.”
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda;
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini telah terjadi baik dalam hal pakaian, maupun dalam hal berpenampilan dan bahkan dalam hal kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).
Untuk itu marilah, saudaraku kaum muslimin, kita tetap menghormati atau bertoleransi akan datangnya tahun baru Masehi ini, namun tidak berarti kita harus membaur, melebur, dan ikut merayakannya…!‼ moga dapat dipahami dan memberikan manfaat Iman, Islam, dan Ikhsaan kita.
Aamiin.
~abah al-faqiir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar